Hidup Dengan Tenteram dan Damai Bersama Tetangga
Sesuatu  yang tak dapat dihindari dalam hidup bermasyarakat adalah kehidupan  bertetangga. Karena yang kita harapkan adalah hidup bermasyarakat dengan  tenteram dan damai, tentunya kita juga harus hidup dengan tenteram dan damai bersama tetangga kita. Alangkah nyaman hidup bersama tetangga yang baik. Sebaliknya,  alangkah sempitnya hidup bersama tetangga yang jelek, sebagaimana  dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dinukil  oleh Isma’il bin Muhammad bin Sa’d bin Abi Waqqash, dari ayahnya, dari  kakeknya:
أَرْبَعٌ  مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ،  وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ؛ وَأَرْبَعٌ مِنَ  الشَّقَاءِ: الْجَارُ السُّوْءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَرْكَبُ  السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ
“Empat  hal yang termasuk kebahagiaan seseorang: istri yang shalihah, tempat  tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan  empat hal yang termasuk kesengsaraan seseorang: tetangga yang jelek,  istri yang jelek, kendaraan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit.”  (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 1232 dan Al-Khathib dalam  At-Tarikh 12/99. Al-Imam Al-Albani mengatakan dalam Ash-Shahihah no.  282: “Ini adalah sanad yang shahih menurut syarat Syaikhain/Al-Bukhari  dan Muslim.”)
Di  dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah  memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berbuat baik kepada tetangga. Allah  Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا  اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا  وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي  الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ  السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ مَنْ  كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Dan  sembahlah Allah, dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu  apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib kerabat,  anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang  jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kalian miliki.  Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan  diri.” (An-Nisa’: 36)
Betapa  pentingnya berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai Jibril  menekankan dalam wasiatnya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril selalu berwasiat kepadaku tentang tetangga sampai-sampai aku menyangka bahwa tetangga akan dijadikan sebagai ahli waris.” (HR. Al-Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2624)
Bahkan  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras orang yang  mengganggu tetangganya dalam sabda beliau yang dinukilkan oleh Abu  Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
وَاللهِ  لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ: مَنْ  يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi  Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak  beriman!” Beliau pun ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Jawab beliau,  “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6016)
Dalam riwayat Al-Imam Muslim:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Muslim no. 46)
Kita  adalah sosok yang telah dewasa. Akal kita telah mampu membedakan mana  yang baik dan mana yang buruk menurut pandangan syariat, mana yang boleh  dan mana yang tidak boleh. Namun tidak demikian dengan anak-anak kita.  Sehingga justru kadang gangguan terhadap tetangga datang dari ulah  anak-anak kita. Mungkin dengan teriakan-teriakannya, mungkin dengan  tingkah lakunya yang mengganggu, kurang adabnya mereka, dan sebagainya.
Untuk  itu, semestinya kita mengajari mereka tentang adab-adab bertetangga,  agar anak-anak kita pun mengerti bahwa tetangga adalah orang-orang yang  harus dihormati dan dihargai, serta terlarang untuk disakiti.
Menjelaskan terlarangnya mengganggu tetangga
Memberi  penjelasan kepada anak-anak tentang sesuatu yang harus dilakukan atau  dihindari dalam agama merupakan suatu hal yang penting. Ini akan  memberikan motivasi kepada si anak untuk menjalankannya. Karena itu,  penting pula kita jelaskan kepada anak-anak bahwa Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk berbuat baik kepada tetangga  kita. Beliau pun melarang kita mengganggu mereka, sebagaimana dalam  sabda beliau di atas.
Asy-Syaikh  Al-’Utsaimin rahimahullahu menjelaskan bahwa sabda beliau Shallallahu  ‘alaihi wa sallam itu menunjukkan haramnya memusuhi tetangga, baik  dengan ucapan ataupun perbuatan. Dengan ucapan, artinya tetangga  mendengar segala sesuatu yang mengganggu dan merisaukannya, seperti  memutar radio, televisi, atau yang lainnya sehingga mengganggu tetangga.  Ini tak boleh dilakukan. Memutar bacaan Kitabullah sekalipun, kalau  suaranya mengganggu tetangga, maka ini termasuk sikap memusuhi tetangga,  sehingga tak boleh dilakukan.
Adapun  dengan perbuatan, seperti membuang sampah di sekitar pintu rumah  tetangga, menyempitkan jalan masuk ke rumahnya, mengetuk-ngetuk  pintunya, dan perbuatan lainnya yang memadharatkan tetangga. Termasuk  pula jika dia memiliki tanaman di sekitar tembok tetangganya yang  pengairannya mengganggu tetangga. Ini pun termasuk gangguan terhadap  tetangga, sehingga tak boleh dilakukan.
Dengan  demikian, diharamkan mengganggu tetangga dengan gangguan apapun. Kalau  dia lakukan hal ini, maka dia bukanlah seorang mukmin. Maknanya, dia  tidak bersifat dengan sifat-sifat kaum mukminin dalam permasalahan yang  menyelisih kebenaran ini. (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/203)
Perlu  pula kita jelaskan pada anak-anak bahwa mengganggu tetangga bisa  menjerumuskan seseorang ke neraka. Sebaliknya, berbuat baik kepada  tetangga bisa mengantarkan seseorang ke surga. Abu Hurairah radhiyallahu  ‘anhu menceritakan:
قِيْلَ  لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ فُلاَنَةَ  تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَتَصُوْمُ النَّهَارَ وَتَفْعَلُ وَتَصَدَّقُ،  وَتُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه  وسلم: لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ. قَالُوا:  وَفُلاَنَةُ تُصَلِّي الْمَكْتُوْبَةَ وَتَصَدَّقُ بِأُثُوْرٍ (مِنَ  الْأَقِطِ)، وَلاَ تُؤْذِي أَحَدًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه  وسلم: هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Nabi  pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, si Fulanah itu biasa shalat malam,  puasa di siang hari, melakukan kebaikan demikian, dan bersedekah, tapi  dia suka mengganggu tetangga dengan lisannya.” Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Dia tidak punya kebaikan. Dia termasuk  penduduk neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Sementara si Fulanah  (wanita yang lain) hanya menjalankan shalat wajib, bersedekah hanya  dengan sepotong keju, tapi tak pernah mengganggu siapa pun.” Rasulullah  menyatakan, “Dia termasuk penduduk surga.”  (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 119, dikatakan oleh Al-Imam  Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 180 bahwa isnadnya shahih)
Memberikan Makanan Kepada Tetangga
Kadang  terjadi, anak-anak memakan makanan yang dibawa dari rumah di hadapan  anak-anak tetangga tanpa membaginya. Mereka biarkan teman-temannya  menatap penuh selera tanpa bisa merasakannya. Terkadang yang seperti ini  jadi biang keributan, karena si teman merengek pada orangtuanya yang  mungkin saja tak mampu membelikan makanan serupa dengan segera. Atau  bahkan terjadi pertengkaran gara-gara si teman tak bisa menahan dirinya  sehingga meminta dengan paksa.
Amatlah  terpuji jika anak terbiasa membagi makanan dengan anak-anak tetangga.  Begitu pula kita bisa melatih mereka untuk memberikan makanan yang kita  miliki kepada tetangga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan hal ini kepada Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا، وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ
“Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak makanan berkuah, perbanyak airnya, lalu bagi-bagikan ke tetanggamu!” (HR. Muslim no. 2625)
Demikian  pula jika kita memiliki makanan lain selain makanan berkuah, minuman  –seperti kelebihan susu perahan misalnya– dan sebagainya, maka  selayaknya kita membaginya kepada para tetangga, karena ini adalah hak  mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin 2/203)
Terlebih  lagi jika tetangga kita dalam keadaan kekurangan dan kelaparan,  mestinya kita lebih memerhatikannya. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma  pernah memberitahu Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma bahwa dia  pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ
“Bukanlah seseorang yang sempurna imannya orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 112, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 82)
Melarang anak-anak mengambil barang milik tetangga
Terkadang  ada anak yang membawa mainan yang bukan miliknya sepulang dari bermain  dengan anak tetangga. Setelah ditelusuri, dia mengambil mainan milik  teman yang dia inginkan. Ada pula yang mengambil buah dari pohon  tetangga tanpa seizin pemiliknya. Ini semua adalah contoh perilaku tak  terpuji yang bisa terjadi pada anak-anak.
Karena  itu, anak perlu disadarkan bahwa mengambil barang orang lain tanpa izin  atau mencuri adalah suatu hal yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala  dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keras akan hal  ini. Lebih-lebih lagi mencuri milik tetangga, ini lebih besar lagi  keharamannya.
Al-Miqdad ibnul Aswad radhiyallahu ‘anhu mengisahkan:
سَأَلَ  رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَصْحَابَهُ عَنِ الزِّنَا، قَالُوا:  حَرَامٌ حَرَّمَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ  بِعَشْرِ نِسْوَةٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ  جَارِهِ. وَسَأَلَهُمْ عَنِ السَّرِقَةِ، قَالُوا: حَرَامٌ، حَرَّمَهُ  اللهُ وَرَسُوْلُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَسْرِقَ مِنْ عَشْرَةِ أَهْلِ  أَبْيَاتٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ بَيْتِ جَارِهِ
Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat  beliau tentang zina. Para sahabat menjawab, “Haram, diharamkan oleh  Allah dan Rasul-Nya.” Lalu beliau bersabda, “Seseorang berzina dengan  sepuluh orang wanita lebih ringan daripada berzina dengan istri  tetangganya.” Kemudian beliau bertanya kepada para sahabat tentang  mencuri. Para sahabat menjawab, “Haram, diharamkan oleh Allah Subhanahu  wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” Lalu beliau menyatakan, “Seseorang mencuri  dari sepuluh rumah lebih ringan daripada mencuri dari rumah  tetangganya.” (HR. Al- Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 103, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 76)
Dengan  mengajarkan adab-adab ini kepada anak-anak, diharapkan mereka tidak  membuat berbagai ulah yang akan mengganggu atau bahkan merugikan  tetangga. Begitu pula kita akan terjaga dari ancaman mengganggu  tetangga, sekalipun gangguan itu bukan langsung berasal dari perbuatan  kita melainkan dari tingkah polah anak-anak kita. Mudah-mudahan dengan  itu kita dapat mewujudkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa  sallam yang disampaikan oleh Abu Syuraih Al-Khuza’i radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR. Muslim no. 47)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.



0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa komentarnya.....