Rabu, 16 Maret 2011

Kasus Korupsi APBD 2002 Kabupaten Kepulauan Mentawai

Kasus Korupsi APBD 2002 Kabupaten Kepulauan Mentawai


"Di negeri ini yang ada hanya ‘tempat’ Pengadilan, sedangkan Keadilan itu sendiri masih penuh tanda tanya ...."



PENDAHULUAN
Korupsi adalah salah satu dari sekian banyak masalah besar yang sedang kita hadapi sekarang ini. Tidak ada cara mudah dan jalan pintas untuk memberantas korupsi. Korupsi, sampai tingkat tertentu akan selalu hadir ditengah-tengah kita. Kita sadar bahwa korupsi, tidak saja mengancam sistem kenegaraan kita tetapi juga menghambat pembangunan dan menurunkan tingkat kesejahteraan jutaan orang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Korupsi telah menciptakan pemerintahan irasional, pemerintahan yang didorong oleh keserakahan, bukan oleh tekad untuk mensejahterakan masyarakat.
Salah satu lahan korupsi yang paling subur adalah pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa pemerintah melibatkan dana yang angat besar. Hampir 60 % pengeluaran belanja negara digunakan untuk pengadaan barang dan jasa.Sebagai gambaran, APBN TA 2002, dana untuk pengadaan barang dan jasa mencapai Rp. 159 triliun. Angka tersebut tidak termasuk dana yang dikelola oleh BUMN, parastatal, kontraktor kemitraan dan belum mencakup anggaran pemerintah daerah. Hasil kajian Pemerintah Indonesia yang bekerjasama dengan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang berjudul “Country Procurement Assesment Report (CPAR)” tahun 2001, menyebutkan 10% - 50% pengadaan korupsi mengalami kebocoran.

Untuk itu tidak ada cara lain bahwa upaya pemberantasan korupsi harus dimulai dari akar-akarnya
Masyarakat selanjutnya dapat melakukan fungsi- nya sebagai ‘peniup pluit’ (whistleblower) atau semacam ‘Watchdog”, yang akan segera memberikan alarm atau upaya pencegahan dini yang ditujukan kepada pihak- pihak yang berwenang untuk melakukan tindakan preventif maupun represif yang diperlukan keseluruhan pihak di sektor publik, swasta maupun masyarakat sipil, dapat melakukan fungsi masing- masing dalam upaya mencegah, mengurangi atau menghilangkan praktek Korupsi dibidang pengadaan, baik yang terjadi ditingkat nasional maupun regional dan lokal, baik yang tergolong ‘petty’ atau kecil- kecilan, maupun ‘grand’ yang tergolong besar besaran.
Arti & Pengertian Korupsi;
Pengertian ‘Korupsi’ dari segi kaidah hukum yang bersifat normatif, berdasarkan ketentuan Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (pasal 2 ayat 1), adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Dalam hal tentang pengertian yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka secara implicit maupun eskplisit, terkandung pengertian tentang keuangan atau kekayaan milik ‘pemerintah’, atau ‘swasta’, maupun ‘masyarakat’, baik secara keseluruhan maupun sebagian, sebagai unsur pokok atau elemen yang tidak terpisahkan dari pengertian ‘negara’ atau ‘state’.
Berbagai ‘penyakit’ yang mungkin sudah dapat dideteksi dan di-diagnosis, perlu diidentifikasikan untuk kemudian dicarikan terapi pengobatannya yang paling mujarab dan efektif. Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi pemerintahan yang sama sekali bebas dari berbagai penyakit. Sebaliknya tidak semua jajaran birokrasi pemerintah yang menderita penyakit semacam ini. Dari analisis keadaan internal dan eksternal, dalam melakukan pendalaman tentang patologi di bidang pengadaan barang pemerintah, maka perlu terlebih dahulu dikemukakan beberapa fakta nyata yang yang dapat dijadikan bahan masukan secara objektif dan proporsional, tentang praktek pengadaan barang dan jasa pemerintah yang belum berorientasi pada prinsip ‘Good Procurement Governance’ yang berbasis pada azas ‘keterbukaan’, ‘akuntabilitas publik’, ‘partisipasi masyarakat’ dan ‘supermasi hukum’.
Pada dasarnya pilar-pilar utama dari ‘Good Governance’ seperti halnya azas ‘keterbukaan’, ‘akuntabilitas publik’, ‘partisipasi masyarakat’ dan ‘supermasi hukum’. bukan lagi barang asing atau baru dalam tatanan kenegaraan dan kelembagaan di Indonesia. Mulai dari jiwa UUD 1945 beserta keseluruhan perangkat perundang-undangan dan peraturan yang berlaku di negeri ini, serta nilainilai etika dan moral yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, termasuk pula sistim manajemen pengadaan barang pemerintah yang berdasarkan atas ilmu dan pengalaman yang secara rutin diselenggarakan oleh kelompok birokrat selama hampir empat puluh tahun yang lalu, seharusnya sangat kondusif dan akomodatif terhadap adopsi dari ke-empat prinsip dasar pemerintahan seperti tersebut diatas. Akan tetapi sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, maka prinsip-prinsip yang baik, akan lebih mudah untuk diucapkan dibanding dengan kewajiban untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang baik tersebut. Setidaknya dalam kaitannya dengan proses-proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, Keputusan Presiden No 18 tahun 2000 telah memberikan acuan dasar dan petunjuk teknis tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah secara lengkap dan rinci.
Permasalahan yang timbul kemudian adalah, terjadinya berbagai bentuk ‘praktek-praktek’ pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dilakukan banyak instansi pemerintah di tingkat pusat maupun daerah, yang disatu pihak kemasannya telah memenuhi segala persyaratan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku, akan tetapi apabila diamati secara cermat pada kenyataannya banyak terjadi ‘praktek-praktek’ yang merugikan keuangan negara dan kepentingan masyarakat.
Oleh karena tanpa disadari oleh masyarakat, sebagai penerima manfaat terbesar dan terpenting dalam sistim pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, ternyata pada kenyataanya menerima ‘hasil akhir’ dari suatu proses pengadaan yang ‘tidak sesuai’ dilihat dari sudut ‘mutu’-nya, ‘jumlah’-nya, ‘manfaat’-nya. ‘sasaran’-nya, ‘waktu penyerahan’-nya, serta ‘harga’-nya dari yang seharusnya. Sehingga pada akhirnya, masyarakatlah yang akan menanggung segala kerugian, baik dari segi dana, waktu, serta kualitas pelayanan yang diterima dari pemerintah.







Mempelajari Patologi di Bidang Pemerintah;
Arti ‘Patologi’ di bidang kedokteran adalah ilmu pengetahuan tentang penyakit. Pentingnya mempelajari patologi, ialah agar setiap pihak yang berkepentingan dengan penyakit manusia, mulai dari akademisi, para praktisi seperti dokter, akhli kesehatan masyarakat, sampai kepada orang-orang kebanyakan akan dapat mengetahui tentang segala sesuatu hal yang berhubungan dengan eksistensi dari berbagai penyakit yang pada umumnya diderita oleh manusia. Dengan demikian pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan kesehatan manusia, ataupun siapa saja untuk dapat mempelajarinya, serta selanjutnya dapat melakukan upaya-upaya pencegahan (preventif), pengobatan (represif) dan perbaikan keadaan tubuh (recovery).
Ilmu tentang penyakit atau ‘patologi’ di bidang kesehatan maupun kedokteran, dapat diaplikasikan secara ‘analogi’ bagi penyakit yang yang diderita oleh masyarakat, khususnya ikhwal tentang penyakit masyarakat yang sering melanda birokrasi pemerintah. Salah satu dari kegiatan penting dilingkungan birokrasi pemerintah, khususnya dalam konteks ‘pengadaan barang dan jasa’ disebut dengan penyakit KKN. Penyakit ini sangat merugikan keuangan negara dan sekaligus dapat berakibat terhadap menurunnya atau berkurangnya mutu dan jumlah pelayanan yang seharusnya diberikan oleh pemerintah terhadap masyarakat, yang pada akhirnya akan meyebabkan terganggunya kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Pentingnya menguasai patologi atau ilmu penyakit di bidang ‘procurement’ atau kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa di lingkungan pemerintah, adalah agar birokrasi pemerintah dan segenap lapisan masyarakat yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, mampu menghadapi ancaman dari bahaya penyakit yang mungkin timbul. Penyakit semacam ini dapat melanda kalangan pejabat lapisan atas maupun bawah, secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, baik yang sifatnya kronis, maupun insidental. Penyakit semacam ini dapat tumbuh subur, karena sudah dianggap menjadi ‘budaya’ dan ‘kebiasaan’ yang sudah umum terjadi dari waktu ke waktu. Serta dengan latar belakang yang berbeda-beda sifat dan penyebabnya, mulai dari sosio-kultural, ekonomi maupun politik.
Mempelajari dan menguasai seluk beluk Patologi atau penyakit KKN yang melanda kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, maka pertama-tama harus mengetahui terlebih dahulu urutan dan pengertian dari keseluruhan proses atau segmentasi dari kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah, sebagaimana diatur dalam ketentuan Keputusan Presiden No 18/2000 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Disamping praktek pelaksanaan pengadaan barang pemerintah yang bersumber pada Guidelines dari Lembaga Donor Internasional seperti World Bank dan ADB, serta lembaga bilateral seperti halnya JBIC (Jepang). USAID (USA). AUSAID (Australia).



BAGIAN I: RINGKASAN KASUS

Sejak pertengahan tahun 2002, berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam AMM (Aliansi Masyarakat Mentawai) mulai gelisah melihat tidak adanya kemajuan atau perbaikan sarana prasarana fisik dan masih sangat rendahnya tingkat pendidikan di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Kegelisahan kian menguat ketika beberapa kali melakukan diskusi dan bedah/kajian APBD Tahun Anggaran (TA) 2001-2002,ditemukan indikasi penyalahgunaan penggunaan anggaran senilai Rp 25 Milyar. Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten yang berdiri tahun 1999( produk UU Otonomi Daerah No 22 tahun 1999) setelah memisahkan diri dari kabupaten induknya - Padang Pariaman ini.
Tidak mau penyelewengan tersebut terus berlangsung, tepat 2 (dua) hari setelah pelantikan Kejari Tuapajet-Mentawai tanggal 21 April 2003, indikasi dugaan korupsi ini dilaporkan ke Kejati Sumatera Barat. Momen ini sengaja diambil AMM agar kasus tersebut menjadi prioritas dan perhatian kajari yang baru pertama ada di Tua Pejat, Mentawai ini. Bahkan pada saat pelantikan Kajari, AMM sempat melakukan aksi demonstrasi mendesak agar Kejati segera menuntut tuntas dugaan kasus tersebut.
Temuan AMM ini ternyata cukup menjadi perhatian Kejati. Terbukti, kurang dari 3 (tiga) bulan sudah keluar hasil penyidikan tim kejaksaan, dimana telah ditemukan dugaan penyelewengan atas dana yang berasal dari sisa APBD 2002 atau dikenal dengan Uang Untuk Dipertanggungjawabkan (UUDP) senilai Rp 7,6 Milyar. Dugaan korupsi kemudian mengarah kepada 4 orang tersangka, yaitu Sekretaris Daerah (Terdakwa I), Kepala Bagian Keuangan (Terdakwa II), Bendahara Rutin (Terdakwa III), dan Mantan Bendahara (Terdakwa IV). Ini membuat aktor pendorong kecewa, karena Bupati yang menjadi bidikan utama mereka untuk bertanggungjawab atas kasus ini kemudian hanya dijadikan saksi. Hal ini sempat membuat gerakan koalisi aktor melemah, bahkan belakangan bubar dengan sendirinya, tanpa ada pengawalan yang berarti atas kasus ini lebih lanjut.
Oleh Jaksa, para tersangka didakwa 5 tahun perjara, denda Rp 200 juta subsidier 4 bulan kurungan, karena dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu dengan merealisasikan dan menggunakan anggaran rutin Setda tanpa prosedur. Tindakan mereka dianggap tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Kasus kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Padang tanggal 17 Oktober 2003 Di tingkat PN, dalam persidangan yang digelar sekitar 11 bulan dengan 38 kali persidangan tersebut terungkap bahwa UUDP APBD 2002 ternyata telah ”dipinjamkan” tanpa prosedur sebagaimana mestinya kepada dinas-dinas dan instansi-instansi di Kabupaten Kepulauan Mentawai; DPRD; Parpol; organisasi profesi; organisasi sosial; juga pinjaman pribadi bupati dan wakil bupati. Tidak hanya itu, dipersidangan juga terungkap bahwa telah dilakukan pembuatan ratusan kwitansi fiktif akibat banyaknya pengeluaran atas permintaan Bupati yang tidak ada pos anggarannya; pengeluaran yang tidak ada SPJ (Surat Pertanggung Jawaban-nya); SPMU (Surat Perintah Membayar Uang) yang melebihi plafon; dana untuk meloloskan LPJ Bupati; dana untuk melobby Dep.Kehutanan, Dep. Keuangan, dan Dep. Pertanian, agar dapat menambah dana PSDHDR; dan dana pembelian mobiler rumah dinas bupati.
Sayangnya, kesaksian yang cukup menunjukkan adanya kesalahan/tindak penyelewengan yang dilakukan oleh para tersangka, ternyata dalam pandangan hakim PN Padang dianggap hanya merupakan kesalahan administratif. Para terdakwa-pun divonis bebas, karena apa yang mereka dilakukan dianggap tidak untuk kepentingan pribadinya melainkan untuk kepentingan dinas-dinas dan instansi-instansi di Kabupaten Mentawai, dan ini dianggap sebagai sebuah kebijakan untuk menjalankan roda pemerintahan di Kabupaten Mentawai yang baru berjalan tiga tahun. Tidak menunggu lama, jaksa langsung kasasi.
Hasilnya? Setelah 15 bulan diproses kasasi, Hakim Mahkamah Agung memperkuat vonis PN Padang atas 3 terdakwa lain (selain Sekda), dan vonis untuk Sekda sendiri sampai penelitian lapangan ini selesai (Nopember 2006) belum sampai ke PN Padang

BAGIAN II: LOCAL CONTEXT
Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri dari 40 pulau kecil. Sebelum tahun 1999, ia merupakan bagian dari Kabupaten Padang Pariaman, Propinsi Sumatera Barat. Hanya ada 4 pulau yang relatif besar disini, salah satunya Pulau Siberut yang ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Siberut (TNS). Pulau-pulau di Mentawai sangat rawan terhadap longsor, banjir, erosi, siltasi dan sedimentasi. Perjalanan menuju kabupaten ini hanya bisa ditempuh dengan transportasi laut, dengan waktu tempuh 6-12 jam dari Kota Padang, sedangkan transportasi antar pulau ditempuh sekitar 4-6 jam.
143Mentawai sangat kaya akan hasil laut dan hutan, jauh lebih besar dibanding yang ada di Sumatera. Mentawai juga mempunyai 4 jenis Primata yang tidak ditemukan di daerah lainnya di dunia, sehingga oleh LIPI dan UNESCO, Pulau Siberut di Mentawai ditetapkan sebagai salah satu cagar biofir dari 6 cagar biofir yang ada di Indonesia. Namun ironis, dengankekayaan yang berlimpah sebagian besar penduduk Mentawai (55,08%) berdasarkan sensus 2001 tidak bersekolah. Hal ini diduga karena sejak tahun 1970-an, hutan di wilayah ini telah dieksploitasi oleh banyak perusahaan, lokal maupun nasional.
Secara Sosial Budaya, masyarakat Mentawai sangat khas. Mereka menganut kepercayaan yang disebut arat sabulungan, yaitu kepercayaan yang menganggap semua benda hidup atau benda mati mempunyai roh dan jiwa. Mereka juga menggunakan tato disekujur tubuhnya, memakai panah beracun unutuk berburu serta berpakaian cawat dari kulit kayu bagi kaum laki-laki. Penduduknya terbagi atas sejumlah kelompok keluarga yang menganut sistem kekerabatan patrilineal atau suku, yang disebut dengan Uma. Bahasa dan agama merekapun berbeda dengan daerah lain di Sumatera Barat yang rata-rata berbahasa Minang dan
beragama Islam, sedangkan mayoritas penduduk Mentawai beragama Kristen.


BAGIAN III: KRONOLOGI

”Kami awalnya mendengar tentang penyelewengan keuangan, sedangkan kita inginkan uang yang sedikit itu dimanfaatkan untuk pembangunan di Mentawai. Ternyata diantara kita ada yang bermain disitu.”

Badan Musyawarah Masyarakat Mentawai (BM3) Setelah berdiri lebih dari 3 tahun, tidak banyak perubahan pelayanan publik yang dirasakan masyarakat, banyak proyek pembangunan yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya, dan hampir 80% tingkat pendidikan masyarakat Mentawai hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD), bahkan kurang dari itu. Tidak heran, sebagian besar masyarakat Mentawai masih berada dibawah garis kemiskinan, yang tercermin dari tingkat ketergantungan penduduk yang mencapai 65,89.
Artinya setiap 1 orang penduduk usia produktif (15-64 tahun) harus menanggung sekitar 66 penduduk tidak/belum produktif. Buruknya pelayanan publik diatas disinyalir sebagian kelompok masyarakat karena rendahnya kualitas SDM yang menduduki jabatan di pemerintahan, tidak adanya standar kinerja, dan penyelenggara pemerintahan yang dianggap hanya mencari keuntungan sendiri (istilah orang Minang: ”hanyo mancari kayo di Mentawai”).







Keganjilan di APBD

”Kita berangkat dari review, kita bedah APBD-nya, lalu kita kaitkan dengan laporan pertangung jawabannya dan kita komparasikan laporan pertanggung jawaban dengan APBD-nya. Lalu kita investigasikan beberapa program/proyek dalam LPJ yang sudah dilakukan. Ternyata dari hasil investigasi banyak penyimpangan disitu”

Salah satu aktor pendorong
144AMM tergolong kelompok masyarakat yang cukup aktif. Mereka kelak diskusi-diskusi tentang perkembangan dan pembangunan Mentawai kedepan yang cukup rutin dilakukan, AMM mulai melihat titik lemah dari pelaksanaan pembangunan di Mentawai. Diantaranya, karena rendahnya kualitas SDM yang duduk dalam pemerintahan, sehingga tidak heran jika kinerja mereka menjadi tidak maksimal dan tidak punya standar yang jelas Namun untuk mengkaji anggaran lebih detail bukanlah pekerjaan yang mudah bagi para aktor yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman dalam mendorong upaya pemberantasan/penyelesaian kasus korupsi. Mereka tidak mau gegabah, karena mereka sadar, salah-salah mereka justru akan dituduh dalam pasal pencemaran nama baik oleh tersangka koruptor. Menyadari keterbatasan tersebut, aliansi ini kemudian mengajak pihak
lain yang berkompeten seperti LBH Umanta di Kota Padang untuk bergabung dengan AMM, dan secara bersama-sama melakukan tinjauan kritis atas APBD Mentawai TA 2001-2002. Kebetulan direktur LBH ini adalah pengacara salah satu anggota AMM yang berprofesi sebagai pengusaha. Kenggotaan AMM yang semula hanya 11 lembaga kemudian bertambah menjadi 12 lembaga dengan bergabungnya LBH Umanta.
Terhadap pos anggaran DPRD ditemukan beberapa hal, diantaranya: (1) pos-pos anggaran yang bertentangan atau tidak diatur dengan PP No 110/2000, yaitu tunjangan beras, kesejahteraan, makan, dan tunjangan kinerja; dan (2) pos-pos anggaran yang diluar asas kepatutan dan keadilan, yaitu kenaikan yang sangat besar untuk asuransi kesehatan yang dianggarkan dalam bentuk uang yang akan diterima masing-masing anggota dewan dari Rp 50.000/bulan menjadi Rp 1.250.000/bulan, kenaikan biaya perjalanan dinas luar daerah mencapai dari Rp 25 juta menjadi Rp 474,2 juta, kenaikan biaya kursus 4 kali lipat, dan tambahan biaya BBM sebesar Rp 1 juta/anggota dewan/bulan. Semua anggaran ini
dibandingkan dengan APBD TA 2001.
Untuk pos anggaran eksekutif, tim bedah APBD paling tidak menemukan beberapa kejanggalan, diantaranya: (1) adanya kesalahan yuridis dalam penjabaran dan perubahan APBD 2001-2002; (2) adanya pos-pos anggaran yang bertentangan dengan PP No 109/2000, yaitu anggaran kepala daerah dan wakil yang melebihi klasifikasi PAD. Temuantemuan inilah kemudian yang dikalkulasikan dan disusun oleh aktor dalam bentuk laporan hukum.

Rintisan Jalan ke Meja Hijau

Adanya pengaduan dari masyarakat yang dilaporkan kepada Kejati. Setelah Kejari Tua pejat
terbentuk, langsung melakukan penelitian full data. Begitu dilakukan full data bahwa telah terjadi korupsi di Mentawai.

Jaksa Kejari Tuapejat Kabkeb. Mentawai
145Selang kurang dari 3 bulan setelah AMM melakukan tinjauan kritis atas APBD 2002, Kajari Tua Pejat Mentawai dilantik. Momen ini sangat penting dan dianggap pas oleh aktivis AMM untuk melaporkan kasus dugaan korupsi ini ke jalur hukum. Di hari yang sama, mereka menggelar aksi demonstrasi menuntut dituntaskannya dugaan korupsi APBD di Kab. Mentawai yang melibatkan eksekutif maupun legislatif. Demo ini sempat membuat berang jajaran pejabat eksekutif Mentawai, dan menyayangkan sikap AMM. Ini terungkap dalam konferensi pers DPD PDIP Sumbar, selang sehari setelah demonstrasi
AMM. Dalam jumpa pers tersebut mereka menyatakan siap melakukan pembelaan kepada
Bupati Mentawai yang merupakan kader PDIP jika ternyata tidak terbukti korupsi.
Tepat tanggal 21 April 2003, dua hari pasca pelantikan Kajari Tua Pajet, AMM melaporkan kasus dugaan korupsi Dana APBD 2002 Kabupaten Kepulauan Mentawai senilai Rp 25 milyar secara tertulis kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Setelah melaporkan dugaan korupsi tersebut, sambil jalan mereka melakukan investigasi (cross check) penggunaan dana APBD TA 2002 tersebut, apakah proyek pembangunan dalam APBD terealisasi sesuai dengan APBD yang sudah disahkan. Mereka juga melakukan investigasi terhadap assetasset daerah yang ada di legislatif dan eksekutif, apakah asset tersebut bertambah atau tidak.

Investigasi dan Tuntutan

Setelah mengkaji laporan dari aktor pendorong, selang dua bulan pasca dilaporkannya kasus ke Kejati Sumbar, tim penyidik kejaksaan mengeluarkan surat perintah penyidikan atas Sekda dan beberapa pejabat di lingkungan Pemkab Mentawai, setelah sebelumnya memerintahkan Kejari Tua Pejat Mentawai untuk mengumpulkan data-data awal terkait kasus dugaan korupsi APBD Mentawai TA 2002. Hingga lima kali pemanggilan, tidak ada satupun panggilan yang dipenuhi. Akhirnya oleh tim penyidik kejaksaan, tersangka I ditangkap secara paksa ketika yang bersangkutan sedang melakukan pertemuan kerja dengan PT. Telkom di Bukittinggi. Saat itu juga tersangka langsung diperiksa hingga tengah malam, dan langsung ditahan dengan dugaan terlibat kasus korupsi dana APBD 2002 Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan surat perintah penahanan No.121/FD.1/07/2003 yang ditandatangani oleh Wakil Kejaksaan Tinggi
Sumatera Barat.
Penahanan ini sempat diperpanjang beberapa kali sampai berkas perkara terhadap tersangka dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Padang oleh Tim Penyidik Kejati Sumbar. Selama dalam tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Muara Padang lebih kurang dua bulan, tersangka sempat mengalami sakit dan dilarikan ke RS. M. Djamil Padang untuk menjalani perawatan. Sekitar tiga bulan pasca proses penyidikan berlangsung dengan pemeriksaan 25 orang saksi, hasil penyelarasan data tim penyidik dengan audit BPKP menemukan indikasi
korupsi senilai Rp 7,6 milyar di Pemkab.Kep. Mentawai. Angka ini jauh lebih rendah dari yang dilaporkan AMM, yaitu senilai Rp 25 milyar. Dari total tersebut, dana yang diduga diselewengkan tersebut Rp 5 miliar diantaranya dipinjamkan atas perintah bupati dan sekda kepada dinas-dinas di pemerintahan. Selain itu, dana dipinjamkan kepada sekwan DPRD mencapai Rp 1 miliar untuk membayar gaji anggota dewan, dan Rp 2 miliar lebih lainnya adalah untuk anggaran Sekwan, Bupati dan Wakil Bupati. Atas temuan ini, tim penyidik langsung menetapkan 4 orang tersangka, yaitu Sekda, Kabag.Keuangan, Bendahara Rutin, dan Mantan Bendahara, diikuti dengan pemblokiran rekening para tersangka.
Dalam dakwaan JPU disebutkan bahwa ke-4 tersangka diduga telah melakukan korupsi dana APBD 2002 Kabupaten Kepulauan Mentawai senilai Rp 7,6 M yang berasal dari sisa dana APBD 2002 yang disebut dengan Uang Untuk Dipertanggungjawabkan (UUDP), dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup, minimal empat tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 milyar atau minimal Rp 50 Juta. Terdakwa juga dinilai oleh JPU telah
melakukan perbuatan melawan hukum yaitu dengan merealisasikan dan menggunakan anggaran rutin Setda yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Sekda yang juga merupakan atasan 3 tersangka lain dianggap tidak melakukan pengawasan terhadap buku kas umum yang dibuat oleh bendahara rutin. Oleh bendahara rutin di akhir tahun anggaran buku kas tersebut tidak ditutup, sehingga terdapat sisa dana untuk dipertanggungjawabkan (UUDP) sebesar Rp 16 miliar lebih, yang berasal dari rekening Bendaharawan rutin sebesar Rp. 8,4 miliar lebih dan dana yang belum dipertanggungjawabkan terdakwa sebesar Rp. 7,6 miliar lebih. Uang ini sampai pada tanggal 31 Desember 2002 belum dipertanggungjawabkan, bahkan terdakwa I sempat memerintahkan terdakwa III untuk tidak menyetor sisa UUDP tersebut ke kas daerah.
Atas dugaan tersebut, dakwaan Primair JPU atas kasus ini, para terdakwa telah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke I KUHP Subsidair :
Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf UU. No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke I KUHP. Untuk itu, terdakwa I dituntut dengan hukuman lima tahun penjara, denda Rp 200 Juta subsidair 4 bulan kurungan, dan dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 3,2 milyar; Terdakwa II dan III dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 2,5 milyar; sedangkan terdakwa IV tidak dituntut membayar ganti rugi karena menjabat sebagai bendahara hingga Juni 2002, sebelum pelaksanaan APBD TA 2002 berakhir.

Kentalnya Dukungan Parpol

Agak sulit memang jika kasus korupsi sudah sedemikian membaur dengan kepantingan politik. Mayoritas pejabat di negeri ini adalah orang partai politik, maka kasus yang melibatkan mereka otomatis ”menyeret-nyeret” parpol yang menaunginya. Setelah tim penyidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat selesai melakukan penyidikan sekitar empat bulan, tepat tanggal 17 Oktober 2003 berkas dakwaan tersangka korupsi dana APBD 2002 Kabupaten Kepulauan Mentawai dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Padang. Berkas dakwaan dibagi 2, yaitu berkas I atas nama terdakwa I (Sekda), dan berkas II atas nama 3 terdakwa lainnya, yaitu Kabag.Keuangan, Bendahara Rutin dan Mantan Bendahara.
Kejadian yang cukup menonjol selama proses persidangan di pengadilan adalah ketika bupati dijadikan saksi, dimana pada waktu itu bupati datang ke pengadilan dikawal ketat barisan layaknya ”Paspampres” dari satgas PDIP dengan seragam hitam-hitam ditambahdengan satu pleton Dalmas Poltaber Padang yang diminta oleh pihak kejaksaan untuk berjaga di sekitar Pengadilan Negeri Padang.
Aksi dan Strategi Aktor Pendorong

Sebenarnya kalau bicara soal peran media, memang ini bersinergi. Kebetulan kita juga punya cabang organisasi di Mentawai, sehingga untuk kasus Mentawai ini kita bisa intens disana dan sering tahu lebih dahulu.
Pekerja Media Tak bisa dipungkiri bahwa media massa punya peran cukup besar dalam mengungkap beragam kasus korupsi negeri ini. Hal serupa terjadi di kasus korupsi kepulauan mentawai. Pasca ”booming”nya pemberitaan tentang penanganan kasus korupsi DPRD Propinsi Sumatera Barat, banyak daerah di Indonesia dan khususnya di Sumatera Barat, yang seolah mendapat spirit dan latah untuk melakukan hal yang sama di daerahnya. Seperti diketahui, sebagian besar aktor yang tergabung untuk mendorong penanganan kasus ini berada di kota Padang. Akses ke Mentawai yang relatif sulit, dan kehidupan sosial yang
agak terbelakang, jauh dari pusat informasi, jauh dari keramaian membuat sebagian besar pihak yang peduli terhadap Mentawai menetap di Kota Padang. Bahkan sebagian besar pejabat di pemerintahan Mentawai-pun disinyalir sebagian besar waktunya dihabiskan di Kota Padang.

Imbas dari Laporan Aktor Pendorong

Ada beberapa modus yg biasanya dilakukan dalam melakukan tundak pidana korupsi tersebut, diantaranya dengan cara melakukan manipulasi laporan dan merugikan keuangan negara. Dan saya tidak setuju dengan adanya cara-cara untuk mencari celah untuk keluar dari hukuman setelah melakukan korupsi.
Kasi Penyidikan Kejati Sumbar Dua minggu selang AMM melaporkan dugaan kasus ini ke Kejati, bupati melaporkan Laporan Pertanggungjawabannya (LPJ) ke DPRD. Perlu diingat, pada periode ini DPRD mempunyai hak yang sangat besar terhadap eksekutif, termasuk untuk tidak menerima LPJ-nya, yang sangat berakibat fatal jika 2 kali LPJ tersebut ternyata ditolak. Hasilnya? LPJ yang disampaikan bupati 8 Mei 2003 ini ditolak. Sebelumnya memang sudah berkembang opini di masyarakat bahwa LPJ bupati akan ditolak, karena diduga banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya dan diduga telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Bupati beserta jajarannya dalam penggunaan dana APBD TA 2002.
Hasil LPJ ini sempat dibandingkan AMM dengan hasil review yang pernah mereka lakukan. Lalu ditemukan beberapa kejanggalan dan penyelewengan yang dilakukan oleh Bupati. Misalnya adanya mata anggaran yang tidak dipertanggungjawabkan dalam pos Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebesar Rp 2,65 Milyar dan dana cadangan sebesar Rp 3, 65 Milyar. Selain itu, hampir disetiap bidang dan sektor ditemukan pos-pos yang tidak ada pertanggungjawabannya dalam LPJ, padahal anggaran tersebut tercantum
dalam APBD. Bahkan ada juga anggaran yang tidak dijelaskan penggunaanya. Oleh LBH Umanta hasil komparasi ini di sebarluaskan ke masyarakat melalui konferensi pers, dan merekomendasikan agar DPRD menolak LPJ tersebut.
Setelah LPJ sempat ditolak, 3 minggu kemudian dilakukan kembali Sidang Paripurna DPRD untuk mendengarkan kembali LPJ bupati. Akhirnya Fraksi Reformasi, Golkar dan TNI tetap menolak LPJ tersebut dengan beberapa catatan, sedangka Fraksi PDIP dan FDKB menerima LPJ menerima dengan beberapa catatan. Hanya Fraksi Nasional yang tidak menyatakan sikap. Selanjutnya, hasil revisi LPJ bupati yang disampaikan Juli 2003 diterima oleh DPRD, kecuali Fraksi Golkar yang tetap menolak LPJ.











BAGIAN IV: ANALISA
Desentralisasi Memicu Korupsi?
Sejak menjadi kabupaten sendiri pada tahun 1999 bersamaan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Kabupaten Kepulauan Mentawai seolah bergeming dari posisinya yang dulu hanya merupakan bagian dari Kabupaten Padang Pariaman. UU No 22 Tahun 1999 yang baru diberlakukan tahun 2001 memberikan kewenangan yang sangat besar kepada daerah dalam mengatur pembangunan di daerahnya.
Undang-undang ini-pun kemudian ditafsirkan sendiri oleh daerah, dimana daerah merasa seakan-akan diberi kewenangan yang seluas-luasnya, dan memberikan peluang kepada pemerintahan daerah terutama kepada kepala daearah untuk membuat kebijakan apa saja termasuk kebijakan-kebijakan yang ”mempermudah” daerah dalam mengelola keuangan daerahnya.
Di sisi lain Kabupaten Kepulauan Mentawai yang masih baru, belum memiliki struktur pemerintahan yang kuat, belum ada sistim kontrol dan pengawasan dalam menjalankan roda pemerintahan, dan belum memiliki makanisme yang dapat menjamin bagaimana pemerintahan berjalan dengan baik, serta masih rendahnya SDM aparat yang ditempatkan dalam pemerintahan. Ditambah lagi kepala daerah yang terpilih melalui legislatif belum
banyak berpengalaman dalam pemerintahan, bahkan ada yang mengatakan hanya seminggu sekali berada di ibu kota kabupaten.
Daerah baru ini juga belum memiliki legislatif yang bisa berfungsi secara baik untuk melakukan pengawalan dan pemantauan terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan, sehingga eksekutif menjadi kekuatan tunggal yang berakibat pada pengambilan kebijakan yang mengesampingkan kepentingan masyarakat dan lebih menguntungkan kepada kepentingan diri kepala daerah dan aparatur pemerintahan di daerah. Kondisi inilah yang kemudian menjadi peluang terjadinya dugaan korupsi APBD 2002 di Kabupaten Kepulauan Mentawai.


Ada 2 (dua) modus korupsi besar dalam kasus ini, yaitu:
Pertama, tidak menyetorkan sisa dana APBD 2002 atau lebih dikenal sisa dana UUDP (Uang Untuk Di Pertanggungjawabkan) sekitar Rp 16 Milyar ke kas daerah pada akhir Tahun Anggaran 2002, melainkan dipindahkan ke rekening pribadi.
Kedua, menggunakan sisa dana UUDP yang peruntukkannya tidak sesuai yaitu digunakan untuk kepentingan dinas, instansi, badan, DPRD dan pribadi-pribadi, tanpa prosedur dan sistem administrasi yang benar seperti menggunakan kuitansi fiktif/palsu, tanpa SPUM/ SPJ dan lain sebagainya.
Kedua modus tersebut menunjukkan buruknya sistem administrasi keuangan di daerah tersebut. Bagaimana tidak, sisa dana UUDP APBD 2002 yang seharusnya disetorkan ke kas daerah, ternyata masuk dalam rekening pribadi bukan disetorkan ke kas daerah sebagaimana layaknya prosedur yang sah. Bahkan, jika kasus ini tidak terungkap bisa jadi uang tersebut masih ada di rekening pribadi bendahara rutin, karena sempat ada perintah dari sekda untuk tidak menyetorkan UUDP ke kas daerah.
150Jika ditelisik lebih jauh, maksud tidak disetorkannya dana tersebut ke kas daerah adalah agar pejabat daerah yang berwenang lebih mudah dan fleksibel dalam menggunakan uang tersebut. Terbukti, dana-dana tersebut ternyata tidak sedikit yang dipinjamkan tanpa prosedur administrasi yang sah, seperti langsung memintanya sendiri tanpa sepengetahuan pejabat yang berwenang; dan tidak sesuai dengan peruntukkannya, seperti untuk urusan pribadi, dinas, instansi, badan, parpol, dan lain sebagainya sebagimana yang terungkap dalam persidangan. Parahnya lagi, tidak sedikit pula bukti-bukti pengeluaran yang
berupa kuitansi fiktif, dan ada surat permintaan pembayaran yang tidak dilengkapi SPJ (Surat Pertanggungjawabannya).
Tidak hanya itu penandatanganan SPPD-pun (Surat
Perintah Perjalanan Dinas) bisa dilakukan kapan saja tanpa SK. Padahal seharusnya untuk menandatangani sebuah SPPD harus dengan SK resmi. Dan ini semua menurut pengakuan salah satu saksi jamak dilakukan dan sudah merupakan suatu kebiasaan di Pemkab.Mentawai.

Proses ke Meja Hijau
Karena menunda eksekusi itu bukan melanggar hukum terutama dengan alasan-alasan ketertiban. Apa sih ruginya jika tidak di eksekusi, tidak ada Pak? Ini kan hanya menyangkut waktu, dan ini Mahkamah Agung sedang memprosesnya.
Asisten Tipikor /Kejati Sumbar Secara waktu, proses hukum dalam penanganan kasus ini hingga ke tingkat Pengadilan Negeri bisa dikatakan tidak terlalu lama. Terbukti, selang 6 bulan dilaporkan, kasus ini sudah masuk ke tingkat persidangan di Pengadilan Negeri. Sayangnya, saat beranjak ke tingkat kasasi, kasus ini merayap lamban. Butuh waktu 16 bulan baru ada hasil kasasi. Itupun hanya untuk berkas II yang memuat tersangka lain di luar Sekda. Untuk berkas Sekda sendiri, sampai penelitian lapangan kasus ini berakhir (Nopember 2006), belum ada hasil keputusan kasasinya.

Ada apa dengan proses hukum di tingkat kasasi?
Berlarut-larutnya proses hukum lanjutan dalam penanganan kasus pidana, pastilah akan membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Apalagi jika kasus tersebut sudah memasuki tahap kasasi, nun jauh dari tempat berpijaknya para aktor. Situasi ini akhirnya membuatdorongan kasus menjadi lemah bahkan berhenti sama sekali. Minimnya jaringan aktor di tingkat nasional, karena akses lokasi yang sangat jauh seperti kabupaten Mentawai memang menjadi kendala tersendiri dalam mendorong penyelesaian kasus. Apalagi, di tingkat kasasi (Mahkamah Agung), akses untuk mengetahui bagaimana progres hukum berlangsung hampir tidak ada. Tidak jarang sambil menunggu ketetapan hukumnya, para terdakwa masih bisa menduduki jabatan mentereng dan wara wiri tanpa beban walau status terdakwa yang disandangnya.
151
Divonis Bebas
Sudah terbukti bersalah, masih saja dibebaskan. Sejak awal penyelidikan, tim penyidik kejaksaan sudah menemukan ada indikasi korupsi atas dana UUDP oleh para terdakwa, sehingga mereka dituntut hukuman penjara 2 tahun dan denda, serta membayar kerugian negara. Namun oleh pengadilan, semua terdakwa di vonis bebas. Apakah tindakan para tersangka dalam dugaan kasus korupsi APBD 2002 Pemkab.Mentawai ini bukan tindakan koruptif, sehingga para terdakwa di vonis bebas oleh persidangan pertama sampai mahkamah agung?
Definisi korupsi dituangkan dalam 13 pasal dalam UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi, yaitu dalam pasal 2-3 dan pasal 5-13. Tindakan koruptif yang dikelompokkan dalam pasalpasal tersebut adalah tentang: kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Untuk kasus Mentawai, dakwaan primair JPU yang menuntut terdakwa dengan pasal 2 ayat (1); dan dakwaan subsidair pasal 3 UU No 31/1999 ditambah dengan pasal 18 ayat (1) UU yang sama adalah sangat kuat. Sampai saat ini pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU ini termasuk yang paling banyak digunakan untuk mempidanai koruptor. Ini merupakan pasal-pasalkorupsi yang terkait dengan kerugian negara.
Alasan lain putusan hakim membebaskan terdakwa adalah karena terdakwa telah mengembalikan kerugian negara, sehingga tindakan mereka hanya dianggap kesalahan administrasi saja. Padahal dalam UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 4, hal tersebut jelas tidak benar, dan merupakan persepsi yang salah. Disitu disebutkan bahwa ”Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3.
Atas kasus ini, memang tidak sedikit yang akhirnya beranggapan bahwa ketika persoalan dibawa kepada pihak penegak hukum, justru kita tidak akan mendapatkan kepastian hukum (DPRD Mentawai).

Masih Tetap Bebas
Sejak awal AMM juga sudah melakukan komparasi antara review APBD 2001-2002 dengan LPJ Bupati TA 2002. Hasilnya, ada beberapa kejanggalan dan indikasi penyelewengan yang dilakukan bupati, seperti adanya mata anggaran yang tidak dipertanggungjawabkan diantaranya pada pos anggaran Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebesar Rp 2,65152 Milyar dan dana cadangan Rp 3,65 Milyar. Bahkan hampir aktor juga menemukan hampir di setiap bidang dan sektor ditemukan pos-pos yang tidak ada pertanggungjawabannya dalam LPJ, sementara ada anggarannya di dalam APBD 2002, hal ini didukung dengan adanya mata anggaran yang tidak dijelaskan penggunaanya dalam LPJ Bupati tahun 2002.
Disini aktor melihat jelas indikasi penyelewengan yang dilakukan oleh bupati. Dakwaan JPU atas para terdakwa ini sempat membuat aktor melemah, karena bidikan utama aktor yang mengarah ke bupati ternyata meleset. Situasi ini semakin memburuk, ketika kebijakan koalisi untuk mengajukan penangguhan penahanan atas para terdakwa dengan iming-iming akan mendapat bocoran data tentang keterlibatan kasus korupsi bupati dari sekda dilakukan. Inilah yang kemudian menimbulkan pro dan kontra serta perpecahan dalam tubuh aktor, dan membuat beberapa anggota koalisi jalan sendiri-sendiri.

Mengapa bupati?
Dalam pandangan aktor selain sebagai orang pertama yang paling bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintahan, keterlibatan bupati sebenarnya sangat jelas dalam kasus ini. Ini dapat ditunjukkan dengan adanya kesepakatan resmi melalui rapat akhir tahun di Aula Bappeda Mentawai yang dipimpin oleh bupati, agar sisa\ dana APBD 2002 (UUDP) tidak disetorkan ke kas daerah, tapi dipinjamkan kepada dinasdinas, bupati, wakil bupati maupun pihak lainnya.
Tidak hanya itu, bukti bahwa keterlibatan bupati sangatlah besar dalam kasus ini juga tampak dalam kesaksian, dimana bupati dapat dengan mudah ”meminta uang” secara lisan tanpa prosedur secara langsung baik untuk kepentingan kedinasan maupun pribadi. Belum lagi banyak juga permintaan pengeluaran bupati yang tidak ada anggarannya, sehingga dibuat kuitansi fiktif. Selain bupati, keterlibatan wakil bupati juga sebenarnya tampak jelas dalam
kesaksian, dimana hanya dengan memo kecil dan langsung mendatangi Bendaharawan Rutin, Wakil Bupati dapat meminta dana untuk keperluannya dengan besaran berjutajuta.
Ini menunjukkan bagaimana sebuah prosedur pengeluaran keuangan daerah yang notabene merupakan uang rakyat, bisa dengan mudah disalahgunakan oleh para pejabat di daerah. Dan bahwa, kasus ini tidak hanya melibatkan orang-orang yang sudah ditetapkan kejaksaan, tapi lebih jauh dari itu juga menyentuh pejabat lain, yang notabene jauh lebih berkuasa yaitu Bupati dan Wakilnya.


Diskriminasi Hukum yang Jadi Bumerang

”...dan terus terang, ini membuat saya apriori terhadap hukum.jadi saya tidak terlalu bangga dengan adanya negara hukum yang bisa dilakukan adalah fungsi-fungsi pengawasan, evaluasi dan minimalisasi.
Ketua DPRD Kab. Kepulauan Mentawai Cukup menarik mengamati perilaku kelompok-kelompok yang ada dalam penanganan kasus ini. Sejak awal kasus ini terungkap muncul gerakan-gerakan baru yang member dukungan kepada para tersangka, tentunya disamping aktor pendorong yang mengantarkan kasus ke jalur hukum.
Kelompok lain yang disinyalir merupakan pendukung tersangka seperti IMS (Ikatan Masyarakat Siberut), ternyata dalam waktu yang bersamaan bisa sejalan dengan apa yang dilakukan aktor pendorong, walau dalam menjalankan misinya kelompok ini tidak saling berkoordinasi. Dari gerakan yang mereka lakukan, termasuk oleh pendukung tersangka, tidak ada yang menyangkal tindak penyelewengan yang dilakukan oleh para tersangka.
Mereka sepertinya sadar betul bahwa yang mereka dukung bersalah. Namun yang membuat mereka gerah adalah tidak dituntutnya bupati ke meja hijau oleh aparat hukum. Padahal sangat jelas indikasi keterlibatan bupati. Inilah yang membuat para kelompok bergerak ”bersama” menuntut diprosesnya bupati ke meja hukum, tidak hanya sebagai saksi tapi sebagai pihak yang seharusnya lebih bertanggungjawab atas kasus ini.Disini terlihat, bagaimana tindakan diskriminatif aparat hukum dapat membangun ”kesolidan” antar kelompok yang berseberangan. Mereka tidak buta untuk menentukan siapa sebenarnya yang salah dan paling bertanggungjawab. Tentunya ini bukan tanpa bukti.
Dari hasil kesaksian di persidangan, sangat jelas kesalahan juga mengarah pada bupati, sehingga wajib dituntut. Bahkan Ketua Majlis Hakim kasus ini sempat mengatakan, ”Tak mungkin masalah pertanggungjawaban anggaran Bupati tidak terlibat.” Namun ternyata, hukum kita ternyata belum cukup adil, dan masih sangat diskriminatif. Ada apa dibalik proses hukum yang sangat diskriminatif ini? Terkait dengan ini berkembang issu bahwa barang bukti uang kontan miliaran rupiah yang disetorkan tersangka akan dinegosiasikan untuk dipakai bersama, guna melepaskan bupati dari jeratan hukum. Waw?

Aktor Pendorong yang Kurang Solid
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Ungkapan klasik itu cocok benar direnungkan oleh semua jenis kelompok, tak terkecuali AMM. Perpecahan yang terjadi di kelompok ini membuat kinerja mereka sebagai inisiator melemah. Terlebih setelah sebagian anggota AMM sibuk dengan kepentingannya sendiri-sendiri.
Sejak awal diketahui bahwa inisiator personil pendorong kasus ini, yang tergabung dalam AMM sebagian berprofesi sebagai kontraktor/politisi dan sebagian lainnya berasal dari berbagai profesi mulai dari LSM, ormas, akademisi dll. Mereka adalah pihak-pihak yang cukup berkepentingan dan peduli terhadap pembangunan Mentawai. Tidak sedikit pula dari mereka merupakan sahabat/teman dekat para pihak yang belakangan dijadikan tersangka oleh kejaksaan, termasuk bupati yang dalam kasus ini lolos sebagai tersangka. Apakah latar belakang aktor ini mempengaruhi upaya mendorong penanganan kasus ini? Jelas Bisa dikatakan peran utama dari inisiator kasus ini, yaitu AMM adalah melaporkan kasus ini ke proses hukum. Selebihnya, AMM sebagai koalisi tidak melakukan apa-apa.
Ketika kasus sudah masuk ke proses hukum dengan tersangka sekda dan bawahannya, praktis kasus ini sudah tidak didorong oleh AMM secara koalisi. AMM kecewa, karena bidikan utama mereka adalah bupati. Dari sini koalisi mulai jalan sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi. Bahkan belakangan sebagian anggota koalisi kemudian mengusung namanya sendirisendiri, tidak mengatas namakan koalisi lagi, karena adanya perbedaan pandangan dalam penanganan kasus ini.
Puncak dari ”perpecahan” internal AMM sebenarnya bermula ketika sebagian anggota AMM justru mengajukan penangguhan penahanan atas tersangka, dengan alasan kejaksaan diskriminatif, dan ada iming-iming dari tersangka bahwa yang bersangkutan
akan membocorkan penyelewengan/indikasi korupsi oleh bupati yang menjadi target utama aktor pendorong. Sialnya, pasca dilepaskan dari tahanan tersangka ternyata ingkar. Disinilah kemudian aktor tidak lagi satu visi dan misi, sehingga mereka jalan sendiri-sendiri.
Dengan melemahnya inisiator kasus ini, perlahan tapi pasti kasus ini kemudian semakin jauh dari pantauan. Ditambah lagi dengan berlarut-larutnya proses hukum terutama di tingkat kasasi yang jauh dari akses masyarakat lokal, membuat kasus ini hampir tanpa ada dorongan penyelesaian lebih lanjut. Di tingkat PN saja kasus ini disidangkan selama 11 bulan dengan 38 kali persidangan. Aktor seperti sudah kehabisan energi, karena sering kali kasus hanya diselesaikan sebagian saja, sedang sebagian lainnya seolah digantung tanpa
kepastian. Dari kasus ini, terlihat berkas untuk 3 terdakwa sudah keluar kasasinya, yaitu tetap membebaskan para terdakwa dari hukuman, sedangkan berkas yang lain atas nama Sekda sampai saat ini belum jelas hasilnya, tanpa ada kepastian hukum.
Kasus ini-pun akhirnya ”terbengkalai” dan seolah tenggelam seiring dengan sibuknya beberapa anggota AMM mempersiapkan diri menjadi calon anggota DPRD dalam Pemilu 2004, dan saat ini paling tidak 6 diantaranya sudah menjadi anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai. Namun demikian ada juga segelintir pihak yang masih peduli dan ingin agar kasus ini dituntaskan.
Kegiatan AMM lebih banyak difokuskan pada diskusi-diskusi mengenai perkembangan Kabupaten Mentawai yang waktu itu baru berusia 3 tahun. Dari diskusi ini mereka mulai mencium adanya indikasi korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Mentawai. Sadar akan kemampuannya yang kurang dalam melakukan bedah APBD, AMM-pun mengundang LBH Umanta Padang yang dipandang lebih mampu dalam melihat aspek hukum dugaan tersebut. Kebetulan direktur LBH Umanta adalah pengacara salah satu anggota AMM. Belakangan, LBH Umanta-pun menjadi anggota ke 12 AMM.
Permintaan penangguhan penahanan ini sebenarnya bukan tanpa syarat. Beberapa anggota AMM yang juga adalah teman tersangka dijanjikan oleh tersangka, bahwa tersangka akan membuka kasus korupsi yang melibatkan bupati, karena semua data-data yang terkait ada pada tersangka. AMM sebetulnya sadar betul bahwa tindakan meraka ini akan menjadi bumerang dan bahan tertawaan orang, dan mereka akan dianggap menjilat ludah sendiri.
Tapi karena pertimbangan janji tersangka, permintaan penangguhan penahananpun dilakukan. Namun celaka, setelah dilepaskan dari tahanan tersangka ternyata ingkar janji, tersangka tidak pernah memberikan data-data terkait korupsi yang dilakukan oleh Bupati.

Potret Aktor Pendorong
Inisiator yang mendorong kasus korupsi APBD di Kabupaten Mentawai ini adalah AMM (Aliansi Masyarakat Mentawai). Mulanya AMM beranggotakan 11 LSM/ORNOP Mentawai yang berada di Padang, yaitu Badan Musyawarah Masyarakat Mentawai (BM3), Yayasan Peduli Masyarakat Mentawai (YPMM), Himpunan Pemuda Mahasiswa Islam Mentawai (HPMIM), Yayasan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (YLKBH), Yayasan Sehati, Forum Peduli Pembangunan Mentawai (FPPM), Siaran Mentawai Membangun (SMM), Forum Masyarakat Mentawai (FMM), Himpunan Pelajar Mahasiswa Siberut (HIPMAS) dan Yayasan Krisau. Secara personal beberapa pentolan AMM berprofesi sebagai pengusaha/kontraktor/politisi, dan sebenarnya cukup dekat dengan para terdakwa.
Kegiatan AMM lebih banyak difokuskan pada diskusi-diskusi mengenai perkembangan Kabupaten Mentawai yang waktu itu baru berusia 3 tahun. Dari diskusi ini mereka mulai mencium adanya indikasi korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Mentawai. Sadar akan kemampuannya yang kurang dalam melakukan bedah APBD, AMM-pun mengundang LBH Umanta Padang yang dipandang lebih mampu dalam melihat aspek hukum dugaan tersebut. Kebetulan direktur LBH Umanta adalah pengacara salah satu anggota AMM. Belakangan, LBH Umanta-pun menjadi anggota ke 12 AMM.
Namun dalam perjalanannya AMM kecewa dengan kinerja aparat hukum terutama kejaksaan yang dipandang pilih kasih dalam menegakkan hukum dan keadilan, dimana bupati yang jadi sasaran utama AMM justru tidak dijadikan terdakwa. Atas kekecewaan ini AMM yang tadinya melaporkan kasus ini justru akhirnya melalui lembaga-lembaga anggotanya memohon kepada kejaksaan agar menangguhkan penahanan atas para tersangka yang juga merupakan teman mereka, karena mereka menilai para tersangka ini hanyalah korban dari penangganan kasus ini. Padahal yang seharusnya lebih bertanggungjawab adalah bupati.156
Permintaan penangguhan penahanan ini sebenarnya bukan tanpa syarat. Beberapa anggota AMM yang juga adalah teman tersangka dijanjikan oleh tersangka, bahwa tersangka akan membuka kasus korupsi yang melibatkan bupati, karena semua data-data yang terkait ada pada tersangka. AMM sebetulnya sadar betul bahwa tindakan meraka ini akan menjadi bumerang dan bahan tertawaan orang, dan mereka akan dianggap menjilat ludah sendiri. Tapi karena pertimbangan janji tersangka, permintaan penangguhan penahananpun dilakukan. Namun celaka, setelah dilepaskan dari tahanan tersangka ternyata ingkar janji, tersangka tidak pernah memberikan data-data terkait korupsi yang dilakukan oleh Bupati.
Pasca penangguhan penahanan inilah AMM seolah-olah tenggelam. Kebijakan AMM meminta penangguhan penahanan ini menuai pro dan kontra dikalangan anggotanya sendiri. Selanjutnya, beberapa anggota AMM akhirnya justru jalan sendiri-sendiri terus mendorong penanganan kasus ini. Atas kasus ini, LBH Umanta yang tadinya menjadi pentolan dalam materi laporan kasus juga menghilang, karena merasa apa yang mereka
lakukan sudah tidak sejalan dengan AMM secara kelembagaan yang dipandang tidak konsisten. Belakangan diketahui beberapa aktor dari AMM banyak yang sibuk untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif pada pemilu tahun 2004, dan saat ini tercatat minimal ada 6 orang ”mantan” anggota AMM yang menjabat menjadi anggota dewan.





Faktor Penguat dan Pelemah Penanganan Kasus

Faktor Penguat:
• spirit dari penanganan kasus korupsi DPRD Sumbar
• gerakan nasional pemberantasan korupsi.
Jika dilihat dari output proses hukum dalam penanganan kasus ini, tidak berlebih jika dikatakan ada pihak yang cukup kecewa. Pasalnya, ke-4 terdakwa yang ditetapkan oleh JPU semuanya di vonis bebas oleh majelis hakim di tingkat PN, bahkan di tingkat kasasi. Namun, terbongkarnya dan berhasilnya kasus didorong hingga ke proses hukum merupakan prestasi sendiri, mengingat Kabupaten Kepulauan Mentawai bukanlah daerah yang mudah dijangkau, dan merupakan daerah yang relatif masih baru. Walau lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, namun semangat aktor local dalam mendorong penanganan kasus ini perlu mendapat reward, dan menjadi pelajaran bagi semua pihak.



Faktor Pelemah:
• perpecahan dalam tubuh aktor
• kurang koordinasi dalam mengatur strategi
• adanya saling curiga antar sesasama aktor157
• koalisi bersifat instan dan sesaat
• suap kepada aktor oleh koruptor
• proses hukum tidak transparan dan diskriminatif.

Berbeda dengan faktor pendukung, secara umum faktor pelemah kasus ini justru berasal dari tubuh aktor sendiri. Sejak awal sebenarnya hal ini sudah bisa teraba, mengingat koalisi yang dibangun oleh aktor berasal dari beragam latar belakang ekonomi, mulai dari mahasiswa, aktivis LSM murni, pengacara, akademisi, bahkan juga kontraktor/bisnis. Heterogenitas yang seharusnya bisa memperkaya koalisi, justru tidak jarang akhirnya memicu kecurigaan diantara aktor.
Koalisi aktor yang lemah ini, tidak jarang kemudian dimanfaatkan oleh para tersangka, misalnya dengan iming-iming uang atau jabatan. Memang cukup sulit membuktikan adanya suap oleh tersangka kepada aktor. Namun kedekatan dan pertemanan para aktor dengan para tersangka yang sebenarnya sudah terjalin lama, paling tidak bisa sedikit menjawab hal ini. Terbukti, belum selesai proses hukum kasus ini, beberapa aktor malah sibuk dengan urusan pencalonan sebagai calon legislatif (caleg) Mentawai pada pemilu 2004 yang lalu.









SEBAB – SEBAB TERJADINYA KORUPSI

Ada beberapa sebab terjadinya praktek korupsi dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambataN struktur administrasi (17,2%), hambatan struktur sosial (7,08 %).Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :

a. Peninggalan pemerintahan kolonial.
b. Kemiskinan dan ketidaksamaan.
c. Gaji yang rendah.
d. Persepsi yang populer.
e. Pengaturan yang bertele-tele.
f. Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.

Di sisi lain menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi yaitu:
a. Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b. Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c. Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.
d. Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentnagan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
e. Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan.
f. Menurut kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat menolak suapan dan korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
g. Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.

Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
1. Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,administrasi yang lamban dan sebagainya.
2. Warisan pemerintahan kolonial.
3. sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidakada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yangdilakukan oleh pejabat pemerintah.

3. Akibat-akibat Adanya korupsi.
1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman
modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer,
menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitasadministrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah,memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :

1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,hilangnya keahliangan hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan\ tindakan-tindakan represif. Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Upaya Penanggulangan Korupsi.

Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab.
Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :

a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
b. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
c. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan,wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara
jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman.
e. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh
mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula.
Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi.




Penanggulangan - Penanggulangan Korupsi Diantaranya Adalah Sebagai Berikut :

1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3. para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi. Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi, perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para
koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi.


Berdasarkan Penanggulangan- Penanggulangan Korupsi diatas, maka dapat disimpulkan Lebih Rinci Lagi Bahwa Upaya Penanggulangan Korupsi Adalah Sebagai Berikut :

a. Preventif.
1. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2. mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
4. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
5. menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
6. hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.

b. Represif.
1. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.

BAGIAN V : KESIMPULAN

1. Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya.

2. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa.

3. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik negara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa “sense of belongingness” diantara para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan yang bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan penayangan wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang) kekayaan pejabat dan pegawai

Kegagalan menyibak suatu kasus bukanlah tanpa sebab. Pada kasus korupsi di Kepulauan Mentawai ini, terkesan apa yang disebut dengan istilah ”hangat-hangat tahi ayam” dari sisi sepak terjang inisiator. Kurang solidnya AMM membuat perjuangan menyibak kasus mengalami kegagalan. Namun di luar itu masih ada faktor lain yang membuat pelaku kriminal asyik melenggang bebas

Faktor tersebut adalah:

Pertama, Para aktor pendorong penanganan kasus ini nampak tidak serius dalam dalam mendorong penanganan kasus ini, ini dapat dilihat dari cara kerja mereka yang tidak ada koordinasi antara aktor yang satu dengan yang lain dalam menyusun strategi dan perjuangan yang mereka lakukan, bahkan ada yang mengambil kesempatan untuk kepentingan kelompok sendiri.

Kedua, Kurangnya pengawalan dari para aktor pendorong terhadap proses hukum yang dilakukan oleh penegak hukum (Kejaksaan dan Pengadilan), ini dapat dilihat dari gerakangerakan yang dilakukan oleh aktor pendorong yang hanya tertuju pada satu institusi saja dan tidak melakukan koordinasi secara baik dengan media massa.

Ketiga, Penegak hukum (Kejaksaan) masih pilih kasih (diskriminatif) dalam menangani kasus korupsi, karena pihak kejaksaan bisa mengalihkan tersangka dari yang seharusnya jadi tersangka dengan cara memulai penyidikan dari pejabat yang lebih rendah yang kemudian tidak menyeret tersangka yang sesungguhnya.

Keempat, Antara sesama penegak hukum masih belum sama persepsi dalam memberikan hukuman terhadap pelaku korupsi, jaksa menuntut beberapa tahun sementara hakim menjatuhkan vonis lebih rendah dari apa yang dituntut oleh jaksa bahkan divonis bebas oleh hakim.

Kelima, Kurangnya pengawalan yang dilakukan oleh para aktor pendorong dalam
penanganan kasus korupsi sampai pada berketetapan hukum tetap.






Saran – sarannya adalah sebagai berikut:

Pertama : Antara aktor pendorong harus ada misi dan visi yang sama serta kosistensi dalam upaya pemberantasan korupsi dan saling koordinasi satu sama lainnya dan harus dilakukan secara bersama-sama dengan membagi peran sesuai dengan spesifikasi lembaga masingmasing.

Kedua : Pemberantasan korupsi haruslah menjadi issu bersama antara aktor pendorong, penegak hukum dan masyarakat serta memiliki komitmen yang kuat terhadap pemberantasan korupi tidak untuk kepentingan sesaat.

Ketiga : Antara berbagai kelompok akademisi, LSM, penegak hukum dan media massa harus memiliki persepsi yang sama terhadap upaya pemberantasan korupsi terutama dalam menafsirkan ketentuan hukum yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi.

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa komentarnya.....